Jumat, 10 Desember 2010

Tasawuf ala Syaikh Ibnu Athoillah

          Perkembangan pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dapat diketahui dari karya tulisnya al-Hikam. ‎Kitab al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu ‘Atha’illah pada khusunya dalam ‎paradigma Tasawuf. Diantara para tokoh sufi yang lain, seperti al-Hallaj, Ibnul Arabi, ‎Abu Husen Annuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran ‎Ibnu ‘Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi, ‎tetapi diseimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadat dan suluk, artinya diantara ‎syari’at, tharikat dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Kenyataan ini terbukti ‎dalam karya-karya tulis dan warisan spiritualnya dan selain ia seoarang ahli hukum yang ‎bermazhab Maliki dan sebagai penganut teologi Asy’ariyah juga ia memiliki posisi ‎sebagai dalam tahrekat Sydziliyah.
          Corak Pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para ‎tokoh sufi lainnya ia lebih menekankan nilai Tasawuf pada Ma’rifat. Selain itu juga ‎bahwa Ibnu ‘Atha’illah merupakan guru ketiga dari taharikat Syadziliyah, maka ia ‎memilki pandangan tasawuf pada kahususnya tentang ma’rifat berdasarkan pandangan ‎tarekat Syadziliyah.
          Adapun pemikiran-pemikiran tarekat tersebut adalah :
Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia ‎mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang ‎layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah. ‎dan mengenal rahmat Illahi. Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan ‎hilangnya rasa syukur, dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa ‎kepada kedzaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah Swt. dengan sebaik-‎baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Kedua, tidak mengabaikan dalam menjalankan syari’at islam. Ia adalah salah satu tokoh ‎sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir serarah dengan al-Ghazali, yakni suatu ‎tasawuf yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, mengarah kepada ‎asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiat an-Nafs), dan pembinaan moral ‎‎(akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah ‎mengosongkan hati selain dari pada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia ‎yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku ‎syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal ‎puas. Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahw) yang akan ‎melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi.
Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, ‎asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh ‎mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan samapi ‎menjadi hamba dunia, tiada kesedihan ketika harta hilang dan tiada kesenangan ketika ‎berlebihan ketika harta datang. Sejalan dengan itu pula, seorang salik harus memakai baju ‎lusush yang tidak berharga, yang akhirnya akan menjatuhkan martabatnya.
Kelima, berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan ummat, berusaha ‎menjebatani antara kekeringan spiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya ‎sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Abu ‎hasan al-Syadzili menawarkan tasawuf positif yang ideal dalam arti bahwa di samping ‎berupaya mencari ‘langit’, juga harus beraktivitas dalam realitas sosial di ‘bumi’ ini. ‎Beraktivitas sosial demi kemaslahatan umat adalah bagian integral dari hasil kontemplasi.
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri ‎sesuai dengan ketentuan Allah. Tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak ‎dengan akhlak Allah Swt., senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa ‎nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-‎sungguh
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’riaft al-Syadzili berpendapat bahwa ma’rifat adalah ‎salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan
‎1). Mawahib atau ‘ain al-ujd (sumber kemurahan Tuhan) yaitu Tuhan memberikannya ‎tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugrah tersebut.
‎2). Makasib atau madzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha ‎keras seseorang, melalui ar-riyadhah, mulazamah al-dzikir, mulazamah al-wudlu, puasa ‎sahalat sunnnah dan amal shalih lainnya.
Karena itu, maka dalam mengupas pemikiran Ibnu ‘Atha’illah ini akan berangkat dari ‎teori ma’rifat yang digunakan oleh Abi Hasan al-Syadzili serta tulisan tulisan Ibnu ‎‎‘Atha’illah dalam kitab Hikam.
Alasan digunakannya teori ini, karena Kitab Al-Hikam meletakan Transendental ‎mengenai eksistensi Tuhan secara empiris, sehingga dari sini kita dapat memahami ‎pemikiran Ibnu ‘Atha’illah dari penglaman puncak (Fick eksperience).
Ibnu ‘Atha’illah telah memahami ajaran konsep Tasawuf yang banyak mengandung dari ‎ajaran Syadziliyah, yang mana ajaran taswuf tersebut diringkas menjadi lima bagian yaitu ‎‎:
‎* Secara lahir dan batin melakukan Taqwa kepada Allah Swt
‎* Berkata dan berbuat sesuai dengan As Sunnah
‎* Dalam penciptaan dan pengaturan menolak akan kekuasaan Makhluk
‎* Baik dalam keadaan sedikit maupun banyak ridha kepada Allah Swt.
‎* Baik dalam keadaan senang maupun susah selalu ingat kepada Allah Swt.
Selain kelima kosep Tasawuf diatas, Ibnu ‘Atha’illah memiliki ajaran pokok dalam ‎Tasawuf antara lain :
‎1. Peniadaan kehendak dibalik kehendak Tuhan
‎2. Pengaturan manusia dibanding kehendak Tuhan
‎3. Pengaturan manusia dibanding pengaturan Allah SWT.
Mengenai konsep yang pertama dan kedua,. Ibnu ‘Atha’illah memberikan penegasan ‎dalam hikmah sebagai berikut.
مَا تَرَاكَ مِنَ الْجَهْلِ شَيْأً مَنْ اَرَادَنَ يُحْدِثُ فِى اْلوَقْتِ غَيْرَ اَظْهَرَهُ اللهُ فِيْه‎
Artinya : “tidak meninggalkan kedunguan sedikitpun (sangat bodoh) orang yang ‎menghendaki perubahan di dalam waktu (yang telah ditentukan) menuju kelain waktu ‎yang Allah telah menampakannya didalam waktu itu”.
Allah Swt adalah Dzat yang maha merajai diseluruh alam semesta ini. Dia mengetahui ‎segela sesuatu yang ada didalam kerajaannya, itu dengan kebijaksanaan dan kehendak-‎Nya sendiri. Maka dari itu apa saja yang terjadi apa saja dialam semesta ini, misalnya ‎jatuh sakit, orang yang berada ditingkat tajrid, orang berada ditingkat kasab, miskin serta ‎kaya, semua itu berjalan dengan kehendak dan iradat yang telah direncanakan sejak ‎semula oleh Allah Swt dan juga mengikuti peraturan yang telah ditetapkan dalam alam ‎wujud ini. Dalam Hal ini Allah Swt berfirman :
وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ‎
Artinya : “…Dan segala sesuatu pada sisi Allah adalah dengan ketentuan taqdir” (Q.S: ‎Ar-rod :8)
Oleh sebab itu jika ada sesorang yang ingin merubah suatu keadaan yang telah ditentukan ‎oleh Allah pada waktu itu juga, orang yang semacam ini adalah sedungu-dungu atau ‎sebodoh-bodohnya orang, yang tidak memahami akan qudrat dan iradat Allah Swt. ‎Dengan alasan, karena ia menghendaki suatu keadaan yang belum dikehendaki Allah, ‎berarti dalam garis besarnya ia tidak rela akan ketetapan dan keputusan Allah yang telah ‎diberikan kepadanya. Padahal apa saja yang telah ditetapkan Allah kepadanya bukanlah ‎termasuk suatu keadaan yang tercela.
Jadi usahanya untuk merubah suatu keadaan yang telah ditetapkan oleh Allah itu ‎termasuk perbuatan yang tidak sopan (tercela). Sebaiknya setiap manusia harus menerima ‎ketetapan (taqdir) Allah ini harus dengan lapang dada dan rela hati yang dibarengi ‎dengan ikhtiar.
Ketiga, pengaturan manusia dibanding pengaturan Tuhan, Ibnu ‘Atha’illah menegaskan ‎pula dalam hikmah sebagi berikut :
لاَ ِنهَايَةَ ِلمَذَامِكَ اِنْ أَرْجَعَكَ إِليَْكَ وَلاَ تَفْرَغُ مَدَ فَحِكَ إِنْ أَظْهَرَوُجُوْدَهُ عَلَيْكَ‎
Artinya “ tidak ada batas akhirnya (tidak ada selesainya) kejelekanmu jika Allah ‎mengembalikan kamu kepada kekuatan usaha dan daya upayamu sendiri. Dan tidak akan ‎ada habisnya kebaikanmu, jika Allah memperlihatkan kemurahan-Nya kepadamu”
Tidak akan ada pangkal ujungnya atau batas akhirnya orang yang mengerjakan kejahatan ‎jika amal itu dikendalikan hawa nafsunya, sebab nafsu itu cenderung pada kejelekan. ‎Sebaliknya orang yang merasa bosan atau tidak henti-hentinya untuk mengerjakan amal ‎kebaikan jika Allah memberikan sifat kemurahannya kepadanya.
Penjelasan menganai hikmah diatas, seseorang seharusnya lepas terhadap amal usahanya, ‎tidak memepedulikan apa hasilnya baik atau buruk. Artinya manusia harus bergantung ‎pada Tuhan, jangan bergantung pada perbuatan atau tindakan diri sendiri.
Untuk menegakkan adab Sufi dan kehalusan budi kepada Allah Swt. Maka hanya ‎kehendak dan daya kekuatan Allahlah yang ditegakkan dalam setiap pembicaraan ‎tasawuf.
Wassalam

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template